What is a Mortgage Broker?

A mortgage broker is a professional who acts as an intermediary between borrowers (homebuyers or property owners) and lenders (banks or financial institutions) to facilitate the process of obtaining…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Kota Ini Berumah di Kedalamanku

Mataku bergerak menyusuri rute yang menuntunku entah kemana, pelan-pelan ia berjalan seakan punya kaki. Di saat yang tak terduga, ia berhenti sebab hendak mengamati dua orang petani-penggembala yang sedang nongkrong di dalam garis berbentuk lingkaran merah. Di kejauhan, seekor domba sedang memamah rumput. Lalu di ufuk nampak sebentang pemandangan “Phan-tas-MagoRia”, dari sini terasa keriuhan taman ria seperti kilasan-kilasan mimpi. Citra tersebut menghilang ketika kudekati, seperti fatamorgana. Dan yang kutemukan di baliknya malah sebuah lapangan hijau kosong, dengan sebuah jalan bergelombang yang secara aneh menyempit…

Adalah gambar-dinding ruangan mungil Lir Space tempatku tadi menjelajah. Dengan cat putih sebagai latar, terpampang gambar mirip peta yang dibuat dengan alat tulis, oil pastel, dan cat akrilik yang detil, namun jelas tidak mencoba menjadi sebuah model akurat sebuah teritori. Di tengah ruangan kita temukan sebuah meja dimana sebuah peta ruang-ruang kesenian kota Yogyakarta (keluaran resmi pemerintah setempat) dibentangkan. Di sekitarnya berjajar sebuah potongan koran, kartu pos buram yang ditimpa gambar seakan jadi penerangnya, juga catatan seperti daftar belanja benda-benda yang dapat ditemukan di jalan — makin dekat kutemukan sebuah ekspresi si pencatat yang kebetulan serupa pengalamanku sebagai seorang pejalan kaki, “menyebrang itu sulit”. Sebaran gambar warna-warni tentang kota di sekujur dinding itu pada awalnya terasa serampangan. Namun kita temukan di satu sisi dinding sebuah gambar peta kota berukuran besar dan tebal berlatar kuning, lengkap dengan jalan lingkar dan rel kereta berinskripsi “according to me” di atasnya.

Saat berdiri di dalam ruangan itu, gambar mengelilingi empat penjuru tubuh sehingga kita selalu akan menemui sesuatu sedang terjadi kemanapun kita menghadap. Limpahan narasi personal si penggambar yang bersebaran seakan membuat kita sulit untuk memilih titik mula, dari mana kita harus berangkat. Tidak seperti game labirin dimana kita disediakan titik awal dan titik akhir, di dalam ruangan itu kita memiliki kebebasan mengambil titik manapun pada peta di dinding — mungkin lebih mirip Pacman tanpa hantu. Dari satu sudut, perhatianku ditarik sebentuk gunung yang mirip gambar anak-anak sekolah dasar namun jauh lebih sederhana. Mataku menelusuri jalan yang menerus ke bawah, mungkin jalan layang atau jembatan. Lalu ia belok ke kanan mengambil rute kereta api. Tidak banyak objek di jalur tersebut, hanya terlihat Tugu kota dan turis di kejauhan. Sekonyong-konyong rute terputus dengan sebuah tanda “Dimulai dari kesampaian”. Di bawahnya Mataku menangkap sebuah petshop dan catatan kecil, “teRoR mas ojek-”.

Terlalu riang oleh gambar warna-warni yang memenuhi ruangan itu, Aku melewatkan sebuah catatan berlatar biru tua di dekat pintu: bertuliskan judul pameran “Not All Who Wander Are Lost” dan daftar tiga persona pejalan-kaki yaitu turis, pekerja, dan flaneur. Yang ketiga ini terbedakan dari dua sisanya dengan caranya berada di kota “luntang-lantung di jalanan tanpa tujuan”. Istilah flaneur sudah dikenal jauh sebelum abad ke-19. Namun ia mendapatkan pemaknaan baru pada masa Charles Baudelaire yang lalu diteruskan Guillaume Apollinaire. Bisa dibilang bahwa Flaneur adalah istilah yang penuh superstisi dan gagasan abstrak; menyangkut puisi, seni sampai alam spiritual. Pada pembacaan Walter Benjamin, istilah tersebut diambil sebagai sebagai sebuah persona yang mewakili manusia modern. Kemudian ia terisi nilai politik pada masa Situationist International dengan psychogeography-nya. Meskipun ia mengalami berbagai pemaknaan ulang, flaneur selalu digambarkan sebagai seorang laki-laki mapan yang memiliki banyak waktu luang untuk menikmati jalanan dan segala hingar-bingar di dalamnya. Siapa kiranya hari ini berkesempatan mencandai jalanan dengan jarak selayaknya detektif amatir itu? Untuk kita kelas menengah yang dihimpit jam kerja pagi-sore, nampaknya istilah tersebut sejak awal mensyaratkan yang tidak mungkin. Jalanan dengan kemacetan dan hiruk-pikuk pembangunan proyek adalah sesuatu yang sebaiknya cepat-cepat dilalui, kita harus cepat pulang.

Mari kembali ke ruangan. Dari ambang jendela yang terbuka, kita temui sebuah dinding di seberang yang tak luput digarap si penggambar dengan sebentuk biru-kuning bertuliskan,

Dari sana kita dapati bahwa istilah flaneur sarat dengan ketidakbergunaan, kesia-siaan. Lantas, mengapa repot-repot berjalan mengamati kota yang kita lalui tiap hari.

Dalam Painter of Modern Life, Baudelaire memperkenalkan M.G, seorang juru gambar yang senang tenggelam dalam kerumunan namun mengambil jarak darinya. M.G sudah tua, menggambar dengan barbar seperti kanak, yang dengan caranya sendiri mencapai ketinggian tunggal namun tidak ingin dirinya disebut sebagai seniman. Baudelaire melanjutkan, ia adalah seorang pelancong dan berwatak sangat kosmopolis. Ia memiliki ketertarikan pada “segalanya” di dunia. Baudelaire mengidentifikasi M.G dengan narator yang menguntit seseorang di keramaian kota London dalam cerita pendek Edgar Allan Poe berjudul “The Man of The Crowd”. Kita dapatkan narator sedang duduk di sebuah kafe, menikmati kerumunan berlalu silih-berganti. “Mengamati” adalah caranya memulihkan dirinya dari bayang-bayang kematian/ketidak-hidupan — dengan menautkan pikirannya kepada pikiran-pikiran kerumunan yang melintas. Proses penyembuhan ini menjadi penting sebab dari sana bersemi daya hidup, daya ingin-tahu begitu kuat si sakit. Sifat itu secara puitis diandaikan Baudelaire sebagai sebuah pengembalian kepada masa kanak-kanak. Ia menyatakan, “Si kanak melihat segalanya sebagai suatu kebaruan; si kanak selalu ‘mabuk’. Tiada yang lebih dekat dari apa yang kita sebut ilham selain kenikmatan seorang kanak mereguk bentuk dan warna.”

Pemunculan figur flaneur yang begitu khusyuk menikmati keramaian mestilah kita lihat dalam konteks pembangunan-ulang besar-besaran di Paris pada pertengahan abad ke-19. Kota yang tadinya padat dan kumuh disulap, dirombak ulang dengan pelebaran jalan sebagai penghubung kawasan strategis, pembersihan sungai, penggantian tata pemukiman dan perbanyakan bangunan landmark. Pembangunan begitu gencar menjelang Paris International Exposition tahun 1855. Transisi kota lama dan baru ini kutangkap tertuang dalam dalam puisi Baudelaire “The Swan”. Ia meratapi,

Kemudian ia mengingat lagi apa-apa yang terlupakan dan yang baru telah hadir di kota. Seekor Angsa dibangkitkan di tengah kota dan di kesempatan berikutnya dari kaca museum Louvre, terselimut debu, menggaruk-garukkan kakinya di sungai kering. Di puisi itu yang hancur dan yang akan hanyalah simbol baginya dengan perandaian, “ingatan tentang mereka seberat bebatuan.”

Lain halnya dengan penggambar dalam pameran “Not All Who Wander Are Lost” Azizi Al Majid. Goresan gambarnya mengalir pada gradien Bandung-Yogyakarta. Ia tidak serta merta meninggalkan Bandung sama sekali — ujug-ujug menjadi bagian masyarakat Yogyakarta — namun tetap membawa ingatannya tentang Bandung yang ditinggalkannya sementara sebagai satu titik pembeda. Ia mengambil jeda dari rutinitas, pemandangan kota yang ia tatap dan tempat-tempat yang ia kunjungi setiap hari. Status kedatangannya di Yogyakarta sebagai pelancong dan pekerja seni ia rangkul. Namun tidak melulu sebagai tahap hirarkis yang mesti dilampaui melainkan sebagai keniscayaan dalam sebuah kunjungan. Perpindahan teritori memungkinkan terbukanya rute baru “kemanapun”. Tubuh mengalami perbedaan sensasi atas sekitar, pada cuaca dan laku berjalan, terlihat pada totebag miliknya bergambar “Art is still life” yang ia gantung di ruangan, serta gambar suhu 31 derajat celsius, di bawah matahari merah, lalu gambar sepeda motornya yang ia tinggalkan di Bandung seukuran “Kuda Besi” yang digambar besar.

Tiap beberapa langkah, ia menghentikan perjalanan dan membiarkan dirinya terpapar lebih intens pada sekitar. Roda waktu dan mesin kota tetap terus bergerak namun ia berdiam, leluasa mengamati dengan tidak terlibat. Tetapi ia temukan dirinya berada pada momen manakala ia tertarik berinteraksi dengan benda-benda yang ia jumpa, membawa mereka masuk ke ruangannya. Kita dapati sebuah tas karung “CAKRA KEMBAR: ROTI DAN MIE” yang ia gambari dengan goresan garis-garis biru saling-silang, terpajang di dinding ruangan. Hal yang sama terjadi pada tumpukan kayu, koran Tribun Yogya dan catatan-catatan yang ia buat di jalan. Setiap benda yang masuk ke ruangannya ia garap sedemikian sehingga mereka dapat membaur ke dalam habitat gambar di dinding. Laku tersebut mematerialkan keseluruhan gambar di ruangan. Bahwa goresan gambar — atas benda-benda yang ia temui di tiap kelokan — adalah laku peng-aku-an, internalisasi atau caranya sendiri mencandai apa-apa yang melintasinya.

Peta Yogyakarta yang berada di ruangan “Not All Who Wander Are Lost” bukanlah teritori fisik kota Yogyakarta. Gambar-gambar benda di sana termasuk landmark, gedung, binatang, orang-orang, lampu jalan dan berbagai yang lain bukanlah pemodelan perjumpaan-perjumpaan melainkan perjalanan ulang dalam alam pikiran si penggambar yang tunggal, terpisah dari perjalanan fisik. Ingatan dan catatan menjadi peta pikiran yang tidak melulu menjadi patokan, namun mungkin menjadi pemicu. Di lain pihak, kita mungkin temukan rute yang Azi gambar terputus, tidak terhubung dengan rute di sebelahnya. Keterpisahan tersebut menjadikan mereka gugus-gugus rute dan pengalaman. Terkadang terdapat kesamaan antara dua tempat, menjadikan mereka dua versi berlainan dari satu gugus tersebut. Di sana penggambar memandang dan menghadirkan citra lewat sudut pandang berbeda. Lebih lanjut, menggambar sebagai narasi individu menempatkan jalanan, sungai dan pelataran di teritori kota ke dalam proses penguraian dan penjalinan kembali. Lempeng tektonik tempat kota berdiri dipecah dan disusun sebagai keutuhan baru.

Lanskap yang membentang di atas spherical globe ditransformasi, dilekuk dan dilipat, ke dimensi interior sebuah ruangan. Ruangan memungkinkan relung internal si pengamat yang senantiasa bergerak termanifestasikan secara material. Hal tersebut mungkin berlaku sebagaimana kita mendekorasi ruang kamar kita masing-masing dengan benda-benda yang menyimpan ingatan. Secara metaforis, kita para pengunjung pameran sedang berada dalam diri sang penggambar — kita memandang, membaca dan menelusuri narasi internal sebagai arsip ingatannya. Waktu jalan-jalan sang penggambar selama seminggu hadir secara serentak namun hanya terakses kemewaktuan kita dalam detik kita sendiri, bergantung penuh pada pengalaman pribadi kita atas kota. Dengan kombinasi luwes yang hampir tak hingga tersebut, cerita dapat hadir sebanyak kesempatan yang ada. Kota tidak berdiri dalam satu narasi terpusat melainkan “hadir kembali” dalam yang jamak.

Pada ruangan “Not All Who Wander Are Lost”, ada yang secara personal menarik perhatianku yaitu landmark yang terlalu kompleks atau tidak ada apa-apa seperti “Phan-tas-MagoRia”, “kosong” dan “abandoned field”. Pengadaan gambar dan penamaan atas yang tidak ada tersebut, jika diperluas, mengingatkanku pada sebuah potongan Novel Rainer Maria Rilke yang berjudul “The Notebooks of Malte Laurids Brigge”. Suatu hari Malte, seorang bohemian yang bertinggal sementara di Paris, memilih jalan-jalan ke luar sebab penginapannya dipenuhi asap perapian. Di tengah jalan ia menemukan sebuah gedung yang sudah runtuh. Ia mengajukan pertanyaan retoris “Akankah seseorang percaya bahwa ada gedung-gedung semacam ini?” Lalu ia lanjut mendeskripsikan sebuah ruangan-ruangan di dalamnya dengan berbagai furnitur, hiasan dinding, saluran air, beserta perubahan warna cat dinding dari masa ke masa. Ia menyebut gedung itu sebagai “Kehidupan bebal yang bagiannya menolak rata pada tanah.” Lantas setelah berpanjang lebar, ia mengingatkan lagi “Tadi sudah kukatakan, bukan? Bahwa semua dinding telah runtuh kecuali yang terakhir — ? Ialah dinding terakhir itu yang telah kukatakan selama ini. Kau boleh jadi beranggapan bahwa aku berdiri memandanginya untuk waktu yang lama, tetapi sumpah, aku terbirit berlarian di waktu aku menyadari dinding itu. Sungguh itulah yang menyeramkan: Aku menyadarinya. Aku menyadari segala yang ada di sana, dan itulah mengapa gedung itu masuk kepadaku dengan rela: Ia berumah di kedalamanku.”

Terakhir, kemana jika bukan tersesat? Mungkin sesederhana kata Baudelaire tentang M.G, “Keramaian adalah muasalnya, … Untuk jauh dari rumah namun merasa berada di rumah di manapun; memandangi dunia, menjadi pusat dunia, namun tak terlihat dunia, begitulah sedikit kenikmatan para jiwa independen, intens dan imparsial itu, yang tidak mudah menyerahkan dirinya pada definisi linguistik.”

Add a comment

Related posts:

ecommerce marketing campaign

Creating an effective eCommerce marketing campaign involves a combination of strategies to drive traffic, engage customers, and increase sales. Here’s a step-by-step guide to help you plan and…

A fictional story about a day in 2050 when NFTs have conquered the world.

You wake up by your alarm clock. At the same time music starts which you like. You feel good and get up. The blinds are open as far as you want them to be. The coffee is already brewing and the light…

My Very Special Dad

I remember that warm August evening in 1981. We stood in the Departure Hall of the brand-new modern Changi International Airport which became operational only in July. Just Dad and me. I was en route…